Pages

Senin, 27 April 2015

Antara PACARAN, KOMITMEN, dan TA’ARUF





 
                Di kalangan anak muda jaman modern seperti sekarang ini yang namanya menjalin hubungan dengan lawan jenis atau sering disebut dengan istilah “Pacaran” adalah sesuatu yang biasa atau lumrah. Baik itu yang muslim atau non muslim. Mereka tidak segan memamerkan kedekatan atau kemesraan mereka yang notabene bukan suami-istri di depan umum. Di tulisan ini penulis tidak akan membahas non muslim. Disini penulis akan membahas muslim yang memilih untuk berpacaran sebelum menikah.
                Kata “PACARAN” sangat tidak asing di telinga. Seorang laki-laki menyukai seorang perempuan yang belum halal baginya dan begitu pula sebaliknya, mendeklarasikan diri mereka bahwa mereka berpacaran. Bagi seorang muslim, telah jelas di terangkan di dalam Al-Qur’an bahwa pacaran itu di larang dalam islam. Seperti yang telah di jelaskan dalam surah An-Nur ayat 30 dan 31 berikut ini :
 An-Nur ayat 30:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
An-Nur ayat 31:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
            Surah tersebut menjelaskan bahwa bagi seorang muslim atau muslimah tidak di perkenankan untuk menjalin hubungan sebelum adanya akad nikah di antara mereka. Dalam menjalin hubungan silaturahim pun mereka memiliki batasan. Yaitu pandangan dan aurat mereka. Seorang muslimah wajib menutup auratnya dengan menutup kain kudung kedadanya artinya berhijab. Dan seorang muslim dituntut untuk menahan pandangannya terhadap hal-hal yang meningkatkan hawa nafsunya. Di dalam Hadist pun di jelaskan bahwa pacaran itu haram.
Ath-Thabrany mentakhrij sebuah hadits. “Janganlah kamu sekalian berkhalwat dengan wanita. Demi diriku yang ada dalam kekuasaan-Nya, tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita melainkan syetan akan masuk di antara keduanya. Lebih baik seorang laki-laki berdekatan dengan babi yang berlumuran tanah liat atau lumpur daripada dia mendekatkan bahunya ke bahu wanita yang tidak halal baginya”.
Nah, dengan adanya ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menjelaskan pacaran itu dilarang, seharusnya umat muslim dan muslimah menjauhi yang namanya pacaran. Namun anak muda jaman sekarang itu sangat pintar menyembunyikan pacaran. Bukan hubungannya yang disembunyikan, namun namanya yang mereka ubah sendiri dengan sebutan “Komitmen”. Hal-hal lain mengenai pacaran sama hal nya dengan komitmen. Mereka tetap menjalin hubungan seperti hal nya pacaran. “aku mencintaimu, kamu juga mencintaiku, tapi aku tidak bisa berpacaran denganmu karena islam melarangnya. Tapi kita tetap bisa berkomitmen untuk hubungan ini.”
Islam tidak pernah memberikan kompensasi untuk hal yang satu ini. Islam tetap memandang komitmen itu haram sama seperti halnya pacaran. Islam hanya mengenal istilah “Ta’aruf” dalam hubungan lawan jenis sebelum menikah. Hal itu pun juga kadang di jadikan tameng bagi mereka (umat muslim) yang menjalin hubungan spesial dengan lawan jenis.  Padahal Ta’aruf sangat jauh berbeda dengan pacaran.
Ta’aruf yang dimaksud di sini adalah proses saling mengenal antara dua orang lawan jenis yang ingin menikah. Jika di antara mereka berdua ada kecocokan maka bisa berlanjut ke jenjang pernikahan namun jika tidak maka proses pun berhenti dan tidak berlanjut.
Islam tidak melarang ta’aruf, dalam sebuah hadits disebutkan, “Dari Anas bin Malik bahwa Al-Mughirah bin Syu’bah ingin menikah seorang wanita, maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berkata kepadanya, “Pergi lalu lihatlah dia, sesungguhnya hal itu menimbulkan kasih sayang dan kedekatan antara kalian berdua.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no 1938 dan dishahihkan oleh Syekh al-Albani – rahimahullah – dalam Shahih Ibnu Majah)
Ta’aruf yang benar adalah dengan langkah sebagai berikut:
1. Pihak lelaki mencari keterangan tentang biografi, karakter, sifat, atau hal lain pada wanita yang ingin ia pinang melalui seseorang yang mengenal baik tentangnya demi maslahat pernikahan. Bisa dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang, seperti istri teman atau yang lainnya. Demikian pula dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berkeinginan meminang dapat menempuh cara yang sama.
Dalam menempuh langkah pertama ini, perlu memerhatikan beberapa perkara antara lain:
- Tidak berkhulwat (berdua-duaan) dalam mencari informasi secara langsung dari wanita terkait dan sebaliknya. Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menegaskan, “Dan janganlah seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali jika sang wanita bersama mahramnya (Riwayat al-Bukhari no. 3006 dan Muslim 1341)
Kemudian Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – kembali menjelaskan hikmah dari larangan ini dalam sabdanya, “Tidaklah seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali setan adalah orang ketiga di antara mereka berdua.” (Riwayat Ahmad 1/18, Ibnu Hibban (lihat Shahih Ibnu Hibban 1/436))

Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa menjerumuskan seseorang ke kubangan perzinaan apalagi perbuatan zina itu sendiri dengan berbagai macam bentuknya.
كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Telah ditulis bagi tiap anak Adam bagiannya dari zina, dia pasti akan melakukan, yaitu kedua mata berzina dengan memandang, kedua telinga berzina dengan mendengar, lisan berzina dengan berbicara, tangan berzina dengan memegang, kaki berzina dengan melangkah, sementara hati berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkannya atau mendustakannya.” (Riwayat al-Bukhari, lihat Shahih Targhib wa Tarhib II/398)
- Tidak ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita bukan mahram)
2. Setelah menemukan kecocokan dan sebelum khitbah, bagi lelaki disunahkan melihat wanita yang ingin ia nikahi. Hal ini karena bermodalkan informasi saja terkadang tidak cukup, karena kondisi seseorang atau kecantikan seseorang itu relatif. Bisa saja cantik menurut kacamata seseorang, namun tidak cantik menurutnya. Sehingga Syekh Utsaimin – rahimahullah – menegaskan, “Sesungguhnya penglihatan orang lain tidak mewakili penglihatan sendiri secara langsung. Bisa jadi seorang wanita cantik menurut seseorang namun tidak cantik menurut orang yang lain”. (Syarhul Mumti’ XII/20)
Saat seorang lelaki ingin wanita yang akan ia khitbah, maka ia harus memperhatikan rambu-rambu nazhar yang telah dijelaskan oleh Syekh Utsamin – rahimahullah – dalam Syarhul Mumti’ XII/22 sebagai berikut :
1. Tidak berkhalwat (berdua-duaan) dengan sang wanita tatkala memandangnya.
Untuk menjauhi khalwat ketika nazhar, maka ia bisa melihat wanita yang ingin ia pinang ditemani wali si wanita atau jika tidak mampu maka ia bisa bersembunyi dan melihat wanita tersebut di tempat di mana ia sering melalui tempat tersebut.
2. Hendaknya memandangnya dengan tanpa syahwat, karena nazhar (memandang) wanita ajnabiyah karena syahwat diharamkan. Selain itu, tujuan dari melihat calon istri adalah untuk mengetahui kondisinya bukan untuk menikmatinya.
3. Hendaknya ia memiliki prasangka kuat bahwa sang wanita akan menerima lamarannya.
4. Hendaknya ia memandang kepada apa yang biasanya nampak dari tubuh sang wanita, seperti muka, telapak tangan, leher, dan kaki.
5. Hendaknya ia benar-benar bertekad untuk melamar sang wanita. Yaitu hendaknya pandangannya terhadap sang wanita itu merupakan hasil dari keseriusannya untuk maju menemui wali wanita tersebut untuk melamar putri mereka. Adapun jika ia hanya ingin berputar-putar melihat-lihat para wanita satu per satu, maka hal ini tidak diperbolehkan.
6.  Hendaknya sang wanita yang dinazharnya tidak bertabarruj, memakai wangi-wangian, memakai celak, atau yang sarana-sarana kecantikan yang lainnya.
Banyak orang mengatakan pernikahan adalah akhir dari cinta, namun yang sebenarnya pernikahan adalah awal dari sebuah cinta, karna dengan pernikahan inilah cinta yang sesungguhnya dibuktikan dan diperjuangkan. Oleh karena itu, selama ta’arufan, carilah sesuatu yang dapat membuat kita tertarik padanya. Sesuatu yang dapat membuat ketertarikan inilah yang akan berkembang menjadi cinta dan diperjuangkan selama pernikahan.
*Semoga Bermanfaat*

1 komentar:

  1. Online casino | Rakuten Casino: 50+ slots, 20+ games
    Online casino | Rakuten 바카라 Casino: 50+ slots, 20+ games. The casino is the new one for you to join หารายได้เสริม now! Rating: 4 · ‎4 온카지노 reviews · ‎Price range: ₹4,900

    BalasHapus